Jeda Antara Kita
“Bye…see you tomorrow.”
“Bye…” kulambaikan tanganku hingga mobil itu hilang di ujung jalan. Baru saja
pintu kututup secara perlahan-lahan, tapi…
“Keluar bersama Robert lagi, Nin?” suara lembut Mbak Eka tetap mampu
mengejutkanku. Aku mengangguk pelan dan segera lari ke kamar.
Ah…kenapa sih Mbak Eka selalu ingin tahu dengan siapa aku keluar. Dia sendiri
kan tahu kalau tidak dengan Bob yang selalu dipanggilnya dengan nama lengkap
‘Robert’, dengan cowok mana lagi aku mau pergi. Mama juga sih pakai nitipkan
anak semata wayangnya ini ke Mbak Eka yang alim itu, kayak aku nggak bisa jaga
diri.
Jujur saja, sebetulnya aku nggak sebel-sebel banget sama Mbak Eka, soalnya
jadi ingat sama mama. Di negara serba boleh kayak Amerika ini, jarang banget
ada orang yang mau memperhatikan apalagi menasehati kayak Mbak Eka. Tapi nggak
enaknya aku jadi canggung kalau mau bersikap. Gimana enggak, kalau yang
dinasehatkan cuma itu-itu saja. Yang Bob bukan mahromlah, yang beda
keyakinanlah, jangan pergi berduaan atau jangan berteman terlalu dekat. Padahal
Mbak Eka tahu sendiri kalau jadi anak tunggal tuh nggak enak. Pingin banget
punya kakak laki-laki yang bisa melindungi dan tempat berbagi rasa. Dan itu
semua ada pada diri Bob. Dia dewasa sekali dengan usianya yang hanya terpaut
dua tahun dariku. Lagipula Bob nggak pernah berbuat kurang ajar atau pun usil.
Kami juga nggak pernah melakukan sesuatu di luar batas seperti yang dilakukan
banyak remaja di sini. Karena antara kami, aku dan Bob tidak ada hubungan
khusus layaknya orang berpacaran. Walaupun hampir semua teman mengira seperti
itu, bahkan mungkin Mbak Eka juga, kami nggak peduli. Pada diri Bob, aku merasa
menemukan sosok abang yang nggak pernah kupunya sebelumnya.
Lagipula, ini nih yang nggak ada seorang pun tahu cita-citaku untuk mengajak
Bob masuk Islam suatu ketika nanti. Jadi apa pun yang dikatakan Mbak Eka,
diam-diam aku dengarkan dan berusaha untuk memahaminya. Biar satu hari
nanti bisa menjelaskan kalau-kalau Bob tanya-tanya soal Islam. Suatu ketika
nanti ada saatnya aku juga ingin berubah jadi anak yang baik seperti Mbak Eka
yang alim itu. Tapi nggak sekarang.
*****
Akhir-akhir ini kurasakan sikap Bob aneh dan nggak seperti biasanya. Kalau
bertemu denganku sepertinya gugup sekali seakan ingin mengatakan sesuatu tapi
segera diurungkannya begitu aku memberi perhatian. Hingga suatu malam Bob
mengajakku makan malam di luar, sesuatu yang jarang kami lakukan kecuali ada
moment khusus.
“Ngomong dong Bob. Aku sudah capek menghadapi perubahan sikapmu akhir-akhir
ini,” tanpa basa-basi langsung kutanyakan kekhawatiranku. Dan Bob cukup paham
dengan sifatku yang satu ini, nggak sabaran. Makanya dia cuma tersenyum
dan…tanpa memandangku! Sesuatu yang sangat kuhafal kalau dia ingin membicarakan
sesuatu tapi takut menyinggung perasaan lawan bicaranya. God…ada apa ini?
“Aku akan memenuhi panggilan wajib militer,” akhirnya keluar juga suaranya
setelah sekian lama kami berdiam diri.
“Tapi bukankah wamil itu sudah kamu ambil beberapa tahun lalu? Kamu sendiri
yang mengatakannya.” Kulihat Bob terdiam beberapa saat.
“Iya, yang telah kujalani memang wajib bagi pemuda Amerika yang berusia di atas
18 tahun. Tapi kali ini berbeda. Negaraku butuh banyak sukarelawan militer
untuk menjalankan tugasnya sebagai polisi dunia.”
Polisi dunia? Aku mencibir. Predikat itu pula yang menjadikan negaramu congkak
dan sering turut campur kepentingan dalam negeri negara lain. Tapi tentu saja
cuma kuucapkan dalam hati.
“Lalu bagaimana dengan kuliahmu dan cita-citamu untuk jadi Arsitek? Apakah
harus kandas di tengah jalan?”
“Resiko itu memang harus aku ambil. Panggilan jiwaku untuk bangsa ini sudah
bulat. Dan semoga jiwa ayahku bisa tenang karena keinginannya telah kupenuhi.”
Ternyata dugaanku benar. Bob bohong soal keputusan ini adalah panggilan
jiwanya. Sebaliknya kekaguman yang berlebihan pada ayahnya yang gugur di medan
tugas ditambah pesan untuk meneruskan perjuangan Amerika telah mengubah dirinya.
“Ke mana kamu akan ditugaskan?” Belum sempat Bob menjawab, makanan yang kami
pesan sudah datang.
“Makanlah dulu. Setelah itu aku akan mengatakannya padamu.” Aku menggeleng dan
hanya memandang kesibukannya mengunyah makanan yang terhidang di depannya.
Punyaku sama sekali belum kusentuh. Selera makanku benar-benar menguap entah ke
mana. Seakan tahu sedang kuperhatikan, Bob menghentikan suapannya.
“Benar-benar penasaran rupanya, hmm…?” Katanya sambil tersenyum. Senyum yang
kata teman-teman mampu menaklukkan hati Julia, ratu kampus tahun ini. Tapi
anehnya Bob cuek-cuek saja, di saat hampir seluruh cowok di kampus ini saling
berebut perhatian Julia. Dia cuma bilang kalau cewek macam itu bukan tipenya,
yang populer dengan hanya mengandalkan kecantikan tubuh dan wajah. Acungan
jempol kuberikan untuknya, satu pandangan positif yang langka di Amerika.
“A…apa? What are you talking about?” tanyaku tergeragap dari lamunan singkatku.
Dan Bob lagi-lagi tersenyum.
“Masih menikmati senyum manisku?” katanya menggoda. Aku benar-benar tak mampu
membayangkan warna mukaku saat ini. Bob memang keterlaluan. Dia paling bisa
kalau disuruh membuat cewek tersipu-sipu.
“Nah gitu dong tersenyum. Dari tadi kamu tegang terus.” Aku tahu, ternyata Bob
ingin mencairkan suasana yang benar-benar kaku tadi.
“Semula aku ditugaskan di kepulauan Spratley untuk menjaga kenetralan daerah
itu dari perebutan banyak negara. Memang kurang menantang, tapi itu cukup bagi
tentara pemula. Tapi entah sebab apa penugasan itu dibatalkan. Dan apa yang kukhawatirkan
menjadi kenyataan. Bukannya aku takut mati, tapi siapa yang akan kuhadapi di
medan tugas itulah yang membuatku kalut. Dan itu pula yang membuatku berat
untuk mengatakannya padamu.” Ditariknya nafas dalam-dalam.
“Aku ditugaskan di…perbatasan Irak.” Deg. Tak urung aku sempat terhenyak juga.
Padahal aku sudah mempersiapkan hatiku untuk menghadapi apa pun yang
dikatakannya. Aku harus tetap tenang, tekadku. Kusebut asma Allah banyak-banyak
dalam hati. Aku tahu apa itu maknanya, tugas untuk bergabung dengan skuadron
lain dalam menjajah Irak yang sedang bergolak. Tidak bisa kubayangkan seseorang
yang kusayangi harus berhadapan dengan saudaraku pula di belahan bumi sana.
“Sorry Nina, I can do nothing.”
Sejak malam itu tak kutemui Bob di kampus, pun di café tempatnya mangkal
kalau lagi banyak masalah. Kupikir itulah pertemuan kami yang terakhir sebelum
keberangkatannya. Tapi ternyata aku salah. Dia menungguku selepas kuliah hari
itu, beberapa hari setelah kejadian malam itu. Saat itu pulalah kami sadar bahwa
persahabatan yang kami bina selama ini telah ternoda. Bob menyatakan
perasaannya di kala kami harus berpisah untuk waktu yang tak terbatas.
Aku tak tahu apa yang salah dengan persahabatan kami. Aku ingat di suatu
kajian bahwa laki-laki dan wanita mempunyai naluri yang sama. Keinginan untuk
mencintai dan dicintai. Dan perwujudan itu hanya ada dalam pernikahan yang
suci. Sejujurnya aku tidak pernah membayangkan sejauh ini. Bob sebagai kakak
laki-laki bagiku sudah cukup. Ah…tapi kami bukan mahrom, terlarang sebetulnya
bagi kami untuk berduaan. Dan satu-satunya cara adalah melegalkannya dengan
menikah.
Sebulan telah berlalu sejak kejadian itu. Bob cukup rajin mengirimiku surat
bahkan berusaha meneleponku sesekali. Walaupun berat kurasa, aku memutuskan
untuk tidak berhubungan dengannya. Seberapa besar rasa sayangku pada Bob, tetap
tak bisa mengalahkan rasa sakit ketika saudaraku seakidah dijajah di belahan
bumi sana. Bagaimana mungkin Bob tega melakukan ini semua? Dia pun tahu betapa
geramnya aku dengan kebijakan pemerintah negaranya yang selalu merugikan kaum
muslimin. Tidak hanya Bosnia, Palestina, Chechnya, gempuran membabi buta ke
Afghanistan, lalu sekarang penyerangan terhadap rakyat Irak yang tak berdosa
dengan dalih yang terlalu mengada-ada. Tidaklah sulit untuk menyadari standard
ganda Amerika, cukup orang yang punya akal bisa memahami fakta ini. Dan aku
merasa Bob cukup punya akal untuk itu. Ternyata aku salah.
Dua bulan sudah berlalu, aku semakin dekat dengan Mbak Eka karena aku tak
tahu lagi harus curhat dengan siapa. Aku pun semakin rajin mengisi hari-hariku
untuk belajar dan mengkaji Islam yang sebenarnya. Ya Allah, ternyata banyak hal
yang aku begitu bebal sebelumnya untuk menerima hukum-hukum Islam, sekarang
menjadi terbuka mata hati ini.
Ah…itukah yang namanya cinta? Dapat membutakan kita dari kebenaran? Ataukah itu
yang namanya cinta semu berbalut nafsu yang berasal dari syaitan? Ya Rabb,
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Memiliki Cinta. Pasti bukanlah cinta bila
perasaan itu menghalangi cahaya-Mu dariku.
Aku menata hati dan diri dalam perjalananku menuju ridho Ilahi. Surat Bob
bertumpuk di meja kamarku tanpa kusentuh sedikit pun. Aku tidak lagi takut
kehilangan dirinya. Karena sesungguhnya sejak mula keputusannya tidak bisa
dirubah, tidak pula oleh diriku, saat itu juga aku sadar bahwa dia bukan lagi
Bob yang aku kenal.
Tanpa terasa ujian sudah menjelang, dan itu berarti aku harus mulai
menentukan jalan hidupku. Kembali ke Indonesia dan melengkapi gelas sarjanaku
di sana atau beberapa tahun lagi tinggal di negeri yang mulai terang-terangan
memusuhi Islam. Apalagi sejak aku memutuskan untuk menutup aurat dengan
berkerudung dan berjilbab, aku merasa sangat tidak aman untuk berlama-lama di
negeri ini. Bohong besar semua yang dipropagandakan Amerika lewat iklan
persahabatan bahwa muslim pun bisa hidup tenang di sini.
Seminggu sebelum kepulanganku ke Indonesia, tiket dan seluruh keperluan
imigrasi sudah di tangan. Proses yang melelahkan karena banyak petugas imigrasi
yang berlaku over dengan muslimah berjilbab.
Seseorang mengetuk pintu. Dengan malas aku beranjak membukakan karena
kebetulan semua sedang tidak di rumah. Ketika pintu kubuka, hatiku sempat
berdesir.
“Ada yang perlu kubicarakan, Nin.” Lagi-lagi tanpa memandangku. Ada nada
gelisah tapi tetap mantap dalam suara itu. Aku keluar dan kami duduk di
beranda, cukup berjauhan karena aku bukan lagi Nina yang dulu.
“Kamu semakin cantik dengan jilbab itu,” katanya. Aku beristighfar dalam hati.
“Apakah ada yang bisa menahanmu untuk tidak pergi, Nina?”
“Maksudmu?”
“Marry me. Aku akan keluar dari militer Amerika dan meneruskan kuliahku sambil
mencari pekerjaan lain.”
“Agamamu?”
“Bukankah selama ini kita bisa berteman dengan sangat baik tanpa meributkan
itu? Kukira sekarang pun sama. Kita saling mencintai, dan kita bisa berjalan
dengan keyakinan masing-masing.”
Ya Allah, seumur hidup tidak pernah kurasakan kemarahan yang teramat sangat
seperti saat ini. Tanpa mampu berkata-kata dan mata penuh airmata kutinggalkan
dia di beranda dan kukunci pintu rumah rapat-rapat. Semakin besar tekadku untuk
segera pulang dan meninggalkan masa laluku yang suram di sini.
Kutulis surat untuk Bob menjawab ajakannya dan menjelaskan tentang diri
seorang muslim sebenarnya. Tentang pergaulan yang salah selama aku berteman
dengannya, sampai haram seorang muslimah menikah dengan laki-laki non muslim
sampai dia beriman. Kujelaskan semua konsep tentang Islam yang aku tahu
meskipun masih sedikit dan hanya menyisakan doa semoga hatinya terbuka untuk
menerima kebenaran hakiki.
Kuayun langkah dengan mantap menuju pesawat ketika untuk terakhir kalinya
aku menoleh ke belakang. Selamat tinggal Amerika, selamat tinggal masa lalu
kelabu, semoga satu hari nanti kita bertemu dalam suasana yang lebih baik dan
diridhoi Allah. Samar kulihat bayangannya, juga mata sendunya. Cintaku pada
Allah jauh lebih besar dari rasa yang pernah aku punya untukmu. Kubalikkan
tubuh dan melangkah mantap menuju pesawat yang segera take off. Selamat
tinggal.
(ukhti, jangan pernah rela menggadaikan iman untuk cinta semu)
Sumber
:
http://www.voa-islam.com/teenage/young-spirit/2009/10/02/1246/cerpen-remaja-2-jeda-antara-kita/